Bismillahirahmanirrahim,
pada kesempatan ini Alhamdulillah saya diberi kepercayaan untuk membahas
sejarah kesusastraan khusunya periodesasi sastra di indonesia ini. Tentunya
kita akan memulai pembahasan kapan dan bagaimana kesusastraan Indonesia
dimulai. Untuk menentukan kapan mulainya sastra Indonesia banyak para ahli
melakukan penyelidikan untuk ini dari bermacam-macam segi, dari segi politik,
bahasa ataupun dari segi persoalannya.
Membahas tentang karya sastra di suatu masa berarti
membahas masyarakat serta masalah-masalahnya. Menurut saya pada masa itu
isi-isi dari karya yang ada digambarkan pengarang pada umumnya tentang
lingkungan dimasyarakat serta jiwa tokoh-tokohnya yang hidup pada suatu masa.
Sesuai dengan perkembangan kebudayaan dari masa ke masa, hal ini akan terlihat
pula dalam perkembangan kesusastraan baik bentuk, isi maupun fungsinya. Kita
bandingkan antara bentuk prosa lama yang dianggap timbulnya pada permulaan
kesusastraan, seperti dongeng-dongeng fabel, hikayat dengan bentuk prosa-prosa
baru seperti roman dan novel, maka terlihatlah perbedaan yang menyolok antara
lukisan masyarakatnya. Perkembangan ilmu pengetahuan serta paham-paham yang
dianut masyarakat mempercepat perkembangan bentuk-bentuk kesusastraan.
Kita masuk membahas periodesasi dan angkatan, Sastra
Indonesia adalah segala cipta sastra yang dicipta dan hidup subur di Indonesia
dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai medianya, yang isinya mencerminkan
sikap, isi jiwa dan watak bangsa Indonesia. Bagi para sastrawan sendiri sebagi
pencipta memang tidaklah menjadi soal dan perhatian, lagi pula tidak atau
kurang sesuai dengan kebebasan jiwa seniman. Masalah angkatan adalah masalah
sejarah kesusastraan yang lebih merupakan persoalan para penelaah sastra dari
pada persolan para sastrawan. Dan untuk pertanyaan “apakah ada periodesasi
sastra pada masa kita sekarang ini?” jawabannya tentu antara Ya dan tidak. Maka
sebelumnya kita telusuri jauh ke belakang sejarah perodesasi itu sendiri.
Sastra Indonesia lahir dan mulai berkembang pada tahun 1920-an dengan alasan
bahwa hasil karya pada waktu itu telah menunjukkan watak, corak dan isi jiwa
bangsa Indonesia, serta bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang
berkembang pada masa itu. Periodesasi atau pembabakan sastra indonesia di zaman
kesusastraan lama/Melayu klasik yang menceritakan kehidupan masyarakat lama,
bersifat Istana sentris, statis dan terikat oleh beberapa aturan. Kesusastraan
Dinamisme misalnya, yang menceritakan masa sebelum kedatangan pengaruh Hindu
dan Islam. Hasil sastra pada masa itu berupa “mantera, doa, dan dongeng”.
Adapun kesusastraan Hinduisme dengan hasil karya sastra telah menunjukkan
adanya pengaruh Hindu, dalam bentuk epos/wiracarita seperti Mahabrata,Ramayana.
Dan Kesusastraan Zaman Islam, kesusastraan yang secara jelas bernafaskan islam,
dengan bentuk syair,gurindam, Ru ba’i.
Kesusastraan pada zaman peralihan merupakan generasi
Abdullah yang pada masa itu masih terdapat corak lama seperti Syair Singapura
Dimakan Api, dan Hikayat Pantjatanderan, dan sudah terdapat corak baru seperti
Kisah Perjalanan Abdullah ke Kelantan. Mengapa Kesusastraan di zaman ini
disebut kesusastraan generasi Abdullah? Karena Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
merupakan pelopor pembaharuan dalam bidang sastra pada masa itu dan belum
mempunyai pengikut.
Periodesasi atau pembabakan sastra indonesia
selanjutnya di zaman kesusastraan Indonesia Modern. Mengapa disebut Modern?
Karena pada masa ini sudah ada penerbitan,dan karya-karya yang berbentuk novel,
roman,dll. Serta bahasa yang digunakannya bahasa melayu tinggi. Kesusastraan
Indonesia Modern mengandung isi cerita yang baru, sifatnya sudah masyarakat
sentris, dinamis, dan sudah mencantumkan nama pengarang dalam karya sastra yang
dihasilkannya.
Pertama-tama
pada masa tahun dua puluhan sudah terlihat gejala-gejala yang ingin membebaskan
diri dari kekangan-kekangan adat dan kebiasaan-kebiasaan lama. Tokoh-tokohnya
ingin menentukan nasibnya sendiri dengan tiada pertolongan lingkungan dan
ikatan masyarakat, serta berisi pengakuan dan anggapan-anggapan kebenaran yang
modern. Penulis pada masa ini pada masa pertumbuhannya selalu memberi gambaran
tentang reaksi pertemuan kebudayaan barat dan timur di Indonesia, Kesusastraan
Indonesia Modern lahir pada tahun 1920-an, pada tahun 1920-an hasil karya
sastra pada periode disebut angkatan Balai Pustaka yang memiliki cirri antara
lain bertendes didaktis, berkisar tentang adat, dan beraliran
romantis-sentimental. Adanya tendens mengajar dan mendidik masyarkat dalam
roman pada masa itu biasanya sangat ditonjolkan oleh pengarang-pengarang,
sehingga jalan ceritanya terantuk-antuk, diselingi dengan nasihat-nasihat yang
diucapkan pengarang sendiri dan diuraikannya nasihat-nasihat yang panjang. Pengarang yang tumbuh pada masa pertumbuhan
kebangunan nasional di Indonesia dalam sekitar tahun 1908-1928; dalam karangan
roman di masa ini kebanyakan mengambil tempat-tempat yang dijadikan latar
belakangnya masih merupakan kedaerahan. Karena rasa kebangsaan pada masa itu
masih dalam pertumbuhan, jadi daerah pelaku-pelakunya masih digambarkan sempit,
sedangkan orang di luar daerah tempat tinggal pelaku, dianggapnya orang luar,
pergi ke daerah lain dikatakannya jauh merantau. Dan berikut nama-nama
pengarang yang telah saya temukan pada masa ini: Merari Siregar (azab dan sengsara); Marah Rusli (Siti Nurbaya); M. Kasim (Muda Teruna); Abdul Muis (Salah Asuhan; Selasih (Kalau Tak Untung);dan Nur Sutan Iskandar
(Hulubalang Raja). Dan diakhir tahun
duapuluahan, pengarang sudah memberi gambaran kebangsaan Indonesia, sudah ada
perasaan nasional, sudah ada timbulnya maksud dan rasa kebangsaan. Mungkin
disinilah akhir periode pertama yang disebut dengan angkatan “Balai Pustaka”.
Selanjutnya
dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern setelah berakhirnya periode Balai
Pustaka munculah periode baru pada tahun tigapuluhan kesusastraan Indonesia
memperlihatkan kemajuan-kemajuan dan perkembangan baik dipandang dari segi isi
maupun bentuknya yang disebut angkatan Pujangga Baru. Pada tahun 30-an Sudah
beralih pada persoalan bagaimana mempertahankan individu dalam arus pengaruh
kebudayaan dunia ini.Adapun beberapa tokoh yang tersimpan dalam data saya
yaitu, Sutan Takdir Alisyahbana (Layar
Terkembang,Tak Putus dirundung Malang(roman), Tebaran Mega(puisi)), Amir Hamzah (Nyanyi Sunyi,Buah Rindu(puisi)), Armyn Pane (Belenggu(roman), Jiwa Berjiwa(puisi),
Jinak-jinak Merpati(drama)). Sanusi
Pane (Madah Kelana, Puspa Mega(puisi),
Airlangga,Sandykala Ning Majapahit(drama)). Dalam Layar
Terkembang karangan ST. Takdir Alisyahbana dan dalam buku Belenggu karangan Armyn Pane, isinya
sudah tidak lagi menyinggung-nyinggung tradisi adat, Jadi tokoh-tokoh yang
digambarkan itu ialah yang selalu melihat ke depan, penuh dengan cita-cita,
emansipasi, mengeritik agama atau kepercayaan yang disalahgunakanjuga tentang
filsafat hidup. Namun ada pula pertentangan antara kaum orangtua dan kaum muda,
yang berpendapat bahwa segala bahan bacaan harus mendidik dan tidak
diperkenankan sebagai sarana menjatuhkan orang lain.Dan mungkin saja disinilah
akhir periode kedua yang disebut dengan angkatan “Pujangga Baru”.
Dan selanjutnya, kesusastraan Indonesia modern
mengalami kemajuan dan perkembangan, terutama berisi persoalan tentang peri
kemanusaan yang dipelopori oleh angkatan “45”, dengan ciri individualistis,
vitalitas, banyak mengandung tema revolusi, dan cenderung bebas.Hingga kini
kalau orang membicarakan angkatan “45” masih selalu ingat akan sosok H.B
Jassin. Dalam tulisannya yang merupakan pemebelaan terhadap angkatan “45” dan
sebagai salah satu pengarang yang membela para pengarang pada angkatan ini
dalam kebebasan berpendat setelah kejadian-kejadian yang hebat, kesengasaraan
penderitaan akibat revolusi dan peperangan, mereka melihat sendiri kematian
dari dekat, turut bertempur atau bahkan mereka sendiri pernah terluka dan
terpenjara. sehingga timbullah pertanyaan terhadap pandangan hidup dan
pandangan kesusastraan angkatan “45”.
Adapun pengarang pada angkatan ini seperti Idrus
dengan karya romannya berjudul Permpuan
dan Kebangsaan, atau Akhdiat Kartamihardja dengan cerpennya yang berjudul Keretakan dan Ketegangan, adapun puisi
karya Usmar Ismail dengan judul Puntung
Berasap. Semua karya-karya pada masa ini tidak lagi satu atau dua persoalan
yang dikemukakan oleh tiap-tiap pengarang angkatan ini, karya sastra mulai
mengandung arti nasionalisme, semangat kemerdekaan.
Kita
masuk ke periode angkatan “66”, Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang
didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Pada angkatan ini muncul
gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga kebudayaaan
Rakyat (Lekra) yang
berkonsep sastra realisme-sosialis. Kemudian Timbul
perpecahan yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960 yang menyebabkan terhambatnya perkembangan
sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965. Ditandai dengan
sajak-sajak dari WS. Rendra dan dari Prosa kita kenal nama Pramoedya Ananta
Toer misalnya buku “Gadis Pantai” (1965) ada pula karya-karya Ali Akbar Navis
dengan cerpennya yang berjudul “Robohnya
Surau Kami”, Taufik Ismail denga puisi yang berjudul Tirani,Benteng,dan puisi-puisi karya Iwan Simatupang.
Selanjutnya sekitar tahun 70-an terbit majalah
sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis, ini juga yang menandai periode 1966,
disini banyak karya-karya sastra beraliran. Dengan munculnya sastra beraliran
surealistik, arus kesadaran, arketip, dan asburd. Penerbitan Pustaka Jaya lah
yang sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya pada masa ini.
Sastrawan dari angkatan ini kita kenal Putu Wijaya dengan karyanya dalam bentuk
novel berjudul Telegram, dan Pabrik. Adapun beberapa judul drama yang
terkenal pada masa itu Dag-dig-dug, dan
Sssstt. Ashadi Siregar dengan novel
yang berjudul Cintaku di Kampus Biru,
Terminal Cinta Terakhir, dan Dolly. Karya
Yudistira Ardhi Nugraha Massardi dan sastrawan lainnya.
Dilanjutkan lagi ke Periode
angkatan yang lebih modern, yaitu periode 80. Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu
setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan
sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya
sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan
penerbitan umum. Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an
ini antara lain adalah: Remy Silado, Seno Gumira Ajidarma,
Pipiet Senja,Tajuddin Noor Ganie. Namun yang tak boleh dilupakan, pada era
1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah
novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan
serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi
gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat. Ada
nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang
dikomandani Titie Said, antara lain: La
Rose, Lastri
Fardhani, Diah
Hadaning,
dan Oka Rusmini.
Sejarah
sastra Indonesia telah merumuskan periodesasi sastra, periodesasi ini dilakukan
karena melihat bahwa sastra Indonesia telah berkembang dalam beberapa kurun
waktu, dan dalam setiap kurun waktu tersebut diisi oleh konvensasi, norma,
standar dan tema sastra tertentu yang dominan kemudian membentuk kekhasan
periode tersebut. Ciri Estetik dan ekstra estetik inilah yang kemudian membentuk
apa yang diistilahkan dalam sastra yang disebut angkatan-angkatan sastra.
Ciri-ciri atau kekhasan dari masing-masing angkatan memperjelas dan mempertegas
karya-karya dalam periode tersebut.
Kesimpulan
saya dalam pertanyaan “Mengapa pada era kekinian tidak ada yang disebut
periodesasi/angkatan?”, maka jawaban saya untuk saat ini “tidak ada”, sebab
pada masa sekarang ini sastra Indonesia mengalami banyak perubahan dan banyak
dibuat dalam berbagai bentuk. Alasan pertama “tidak ada” karena tak ada yang
menguasai norma, konvensasi, atau kesepakatan sastra itu sendiri, kedua dari
sekian banyak karya sastra pada saat ini tak ada yang menyamakan tema yang satu
dengan tema karya-karya yang lainnya. Bisa kita lihat tema-tema yang keluar
pada masa ini, mulai dari tema perempuan sexsualitas, tema islami, tema komedi,
kisah romantis percintaan, semuanya ada.
Untuk saat ini memang banyak sekali karya sastra di
Indonesia dan banyak pula pengarang-pengarang yang sudah mempunyai buku
terbitan dari mulai anak SD hingga dewasa yang bisa disebut penulis, namun
dalam hal ciri estetik dan ekstra estetik dari masing-masing penulis saat ini
belum kuat untuk menjadi sebuah identitas karya yang bisa digolongkan sebagai
angkatan/periodesasi. Jadi bisa saja, 3-4 tahun kemudian atau bahkan 10 tahun
kemudian seseorang bisa menemukan nama periodesasi angkatan untuk masa sekarang
ini, dengan keadaan sekarang ini, tema-tema sastra yang ada sekarang ini dan
dengan ketentuan-ketentuan atau ciri-ciri tertentu yang hidup pada masa
sekarang ini.